Pariaman

“TABUIK PIAMAN” : HARAM KAH ?

oleh : Sadri Chaniago*

Perdebatan Hukum Tabuik

ayokepariaman.id-Dari tahun ke tahun, pelaksanaan pesta budaya tabuik di Kota Pariaman selalu diramaikan perdebatan mubah, makruh, atau haram-nya kegiatan ini. Bagi pendukungnya, tabuik hanyalah kegiatan budaya dan pariwisata semata, tidak terkait dengan ritual paham keagamaan Syi’ah, dan memiliki multiplayer effect sosial ekonomi bagi daerah. Pelaksanaan tabuik tidak akan membuat orang Piaman menjadi Syi’ah, akan tetapi tetap ahlussunnah wal jama’ah, tangkis mereka.

Sementara itu bagi kalangan yang kurang setuju dengan tabuik, mereka berhujah bahwa fakta sejarah tidak tidak boleh diingkari, tabuik pada hakikatnya adalah arak arakan yang dibudayakan kalangan Syi’ah untuk menunjukan rasa duka cita mendalam memperingati kematian tragis Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang terbunuh dalam pertempuran dengan Yazid Bin Muawiyah bin Abu Syufyan di Padang Karbala. Walaupun budaya tabuik yang dibawa ke Pariaman oleh orang ‘Sipahi” (Tamil) dari Bengkulu itu diklaim hanya kegiatan budaya anak nagari yang sudah “dilucuti” unsur Syi’ah-nya, namun dengan menilik kepada asal muasal sejarah tabuik dan prosesinya (maambiak tanah, manabang batang pisang, marak saroban, maarak panja / maradai, dan sebagainya), tetap saja menunjukan unsur budaya dan faham Syi’ah secara substansinya.

Indikasi adanya prilaku mubazir dalam pembuatan tabuik, semakin mengukuhkan hujah mereka bahwa tabuik bercanggah dengan tuntunan Islam, sehingga dihukumkan haram. Salah seorang yang memiliki ijtihad pribadi seperti ini adalah: Ustadz Jell Fathullah, yang dapat dilihat dalam tayangan video ceramahnya yang diunggah di laman Youtube.com. Kegaduhan dan perdebatan wacana status hukum syara’ tentang pelaksanaan perayaan tabuik ini telah merembet ke media sosial seperti facebook, sehingga berpotensi mengundang terbelahnya soliditas rang Piaman baik di ranah maupun rantau. Hal ini menguras energi dan bersifat kontraproduktif terhadap kohesi sosial masyarakat Piaman. Ratak nan ka mambao pacah !

Alim Ulama : Bermuzakarah lah !

Perdebatan wacana status hukum syara’ tentang tabuik ini adalah “bengkalai lama” yang menjadi “duri dalam daging” yang harus segera dituntaskan. Belum ada satupun pendapat yang bisa dipegang sebagai “gantiang putuih, biang tabuak” untuk dijadikan acuan, karena belum adanya putusan fatwa hasil ijtima’ para alim ulama setentang perkara ini. Siapakah sebenarnya yang berwenang untuk mengkaji dan menetapkan status hukum kegiatan ba-tabuik ini ? Tentu saja harus “dipulangkan” kepada para alim ulama, sebagai salah satu unsur trium virat dari tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan, yang berwenang dalam urusan Syarak dalam adat Minangkabau. Mereka lah yang memiliki otoritas dalam memutus halal dan haram, mana yang haq dan mana yang bathil, karena posisi mereka sebagai tepian adat dan halaman syarak, duduknya bercerminkan kitab, dan tegaknya memberikan pituah dengan kato hakikat dan kebenaran yang sebenar benar kebenaran (al-haq), dengan berpandukan Alqur’an dan Sunnah, Ijma’ dan qiyas, sebagaimana seharusnya suluah bendang dalam nagari.

Bagi yang tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad, ya sudah, cukup ittiba’ saja, mengikuti keputusan para alim ulama tersebut dengan juga mengetahui sebab musababnya diputuskan seperti itu. Di jari talataknyo cincin, di langan takanaknyo galang, talatak sagalo sesuatu di Maqamnyo, sasuai alua, patuik, dan mungkinnyo !

Namun, alim ulama tetap harus melibatkan ninik mamak (KAN dan LKAAM), serta para cadiak pandai (akademisi dan pemerintah) selaku undang, serta para pemangku kepentingan lainnya (tuo tabuik, keluarga tabuik, dan pelaku pariwisata), sehingga tercipta kesepahaman bersama setentang hukum tabuik ini dari sisi syarak. Pelibatan segenap stakeholder ini penting dilakukan untuk menuju kondisi soliditas sosial yang: saciok bak ayam, sadanciang bak basi, Ka hulu sahantak galah, ka hilia sarangkuah dayuang, Saayun salangkah, Sarantak sadagam. Kongkritnya, Pemerintah Kota Pariaman sangat dipandang perlu untuk menginisiasi dan memfasilitasi para alim ulama (MUI Kota Pariaman) melaksanakan kegiatan muzakarah, dalam rangka menetapkan fatwa tentang status hukum pelaksanaan perayaan Tabuik ini dari sisi syarak, yaitu hukum Islam.

Kondisi dan situasi sosial di tengah tengah masyarakat sudah menuntut untuk mengambil tindakan kongkrit dalam menyelesaikan persoalan ini, sudah memenuhi kaedah adat Minangkabau: basiang di ateh tumbuah, mamandang di ateh rupo. Mendudukan status hukum syarak dari pelaksanaan tabuik ini sangat mendesak untuk dilakukan, kalau memang kita konsisten dengan adagium: adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, Syarak mangato, adat mamakai. Apalagi kota Pariaman menggadang gadangkan konsep pariwisata yang bernuansa Islami. Konsekuensinya, Syari’atlah yang mestinya menjadi acuan dalam seluruh aspek kehidupan orang Minangkabau (sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya).

Penulis arif sepenuhnya, “mengusai” persoalan hukum tabuik ini dari sisi syarak merupakan perkara yang sensitif dan berisiko, sehingga ada kesan cenderung “dihindari”, karena laksana “mengincah” sarang tebuan/lebah. Berbagai kalangan akan berfikir panjang ‘mangakok” urusan ini, karena resikonya akan “dikepusu” dan disengat oleh tabuan atau lebah tersebut. Memang, perlu kehatian hatian dan kiat tersendiri dalam urusan seperti ini.

Pelaksanaan kegiatan Tabuik merupakan agenda tahunan yang sudah mengurat mengakar dalam kehidupan sosial ughang Piaman, sudah menjadi identitas sosial, dijadikan “icon” pariwisata oleh pemerintah daerah, dan berhubungkait dengan kepentingan para stakeholder. Tentu, akan ada resistensi terhadap putusan fatwa alim ulama tersebut apabila dinilai tidak mengakomodir berbagai kepentingan selama ini, yang sudah menganggap tabuik sebagai identitas budaya masyarakat Piaman. Oleh karena itu, para alim ulama perlu memelihara objektifitas, ‘arif, penuh kehati-hatian, menimbang segala mashlahat dan mudharatnya, bersikap moderat dalam artian: tidak bermudah mudah dan juga tidak berlebih lebihan (ghuluw) dalam memutuskan hukum ba tabuik ini.

Sifat arif dan hati hati ini salah satunya digambarkan oleh mamangan adat: bak cando mambunuah ula dalam baniah. Ula mati, baniah ndak rusak. Bak maelo rambuaik dalam tapuang. Rambuik indak putuih, tapuang indak taserak. Jikok tagangnyo bajelo jelo, jikok kanduanyo ba dantiang dantiang. Jikok mandindiang jan sampai ka ateh langik, jikok mahampang jan sampai ka muaro. Satiok mahampang ba palapasan. Dilatak an sagalo sesuatu di maqamnyo, sasuai ukua jo jangko, patuik dan mungkinnyo. Di tangah tangah talatak tulang pungguang ! Adakah iktikad baik pemerintah Kota Pariaman, dan para alim ulama, serta LKAAM untuk mendudukan status hukum syarak ba tabuik, yang laksana “mengincah” sarang tebuan ini ? Wallahu a’lam, kita tunggu saja !

*penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas /
Anak Nagari IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman.

.

Berikan Komentar Dunsanak !
iklan_web
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Most Popular

To Top